Minggu, 07 September 2014

Kopi dalam Sejarah Kolonial

Judul asli: The Various Flavours of Coffee
Terjemahan Indonesia: Rasa Cinta dalam Kopi
Pengarang: Anthony Capella
Tebal: 680 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Sejarah
Tahun: 2008
Terbitan Indonesia: 2012
Harga: Pinjam di perpus USD

Anthonny Capella selalu memiliki sudut pandang yang menarik dalam buku-buku tulisannya. Ia banyak menceritakan sejarah awal abad ke-20 di kawasan Eropa dan manarik gambaran sejarah besar dalam kehidupan sehari-hari tokoh yang dia ciptakan. Dalam bukunya kali ini ‘Rasa Cinta dalam Kopi’ ia membawa kita pada bisnis kopi pada akhir abad 19 sampai awal abad ke-20.

Robert Wallis adalah seorang penyair yang terlilit hutang dan sedang berada dalam keadaan ekonomi terjepit yang secara kebetulan bertemu dengan seorang pengusasa kopi, Samuel Pinker. Dari pertemuan tidak sengaja di Royal Café inilah cerita dalam buku ini berawal.
Samuel Pinker sendiri adalah seorang pengusaha kopi yang ambisius, dia berusaha keras untuk bisa menang melawan para pesaingnya, terutama pesaing terbesarnya, Howell. Salah satu usahanya untuk menang dalam persaingan tersebut adalah dengan menciptakan pedoman. Suatu usaha untuk mendeskripsikan rasa-rasa kopi agar tercipta suatu standar dan lebih mudah untuk mengkomunikasikan rasa kopi tersebut dalam berbisnis. Diawali dari sebuah pedoman yang membawa Wallis menjalani petualangan panjang sampai ke Afrika untuk membuka perkebunan kopi di sana.
Capella dalam bukunya ini merangsang seluruh indera kita untuk ikut bekerja, ia tidak hanya mendiskripsikan apa yang terjadi dan apa yang bisa kita lihat dengan mata saja. Ia mendeskripsikan dengan detail apa yang dicium dan dirasakan dalam setiap kopi yang dicicipi oleh Wallis dan Emily Pinker. Relasi kerja yang pada akhirnya berlanjut pada relasi yang romantis bahkan digambarkan Capella cenderung erotis.
Yang menarik dalam buku ini adalah kita bisa melihat keadaan di Inggris pada tahun-tahun tersebut dan menurut saya Capella menggambarkannya dengan cukup mendetail. Salah satunya kita bisa melihat bagaimana ambisi negara-negara Eropa untuk memperluaskan daerah kekuasaan dan bagaimana pandangan mereka tentang orang-orang di luar Eropa. Wallis menggambarkan peta dunia yang diwarnai dengan berdasarkan daerah kekuasaan dari negara-negara tersebut, dan merah adalah warna yang melambamngkan kerajaan Inggris sekaligus warna yang kala itu mengusai peta dunia. Ia juga menggambarkan politik dalam perdagangan kopi kala itu seperti adanya monopoli kopi dari daerah nusantara.
Pikiran-pikiran kolonialis lain muncul ketika Wallis akan berangkat ke Eropa. Dia digambarkan membawa misi penting selain mengembangkan bisnis perkebunan kopi milik Pinker yaitu menyebarkan peradaban dan menyelamatkan jiwa para penduduk asli, dengan kata lain menyebarkan Kekristenan ke Afrika. Hal lain yang menggambarkan superioritas Eropa adalah ketika Wallis tiba di Eropa dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki budak. Dalam tulisan tersebut, budak lebih digambarkan seperti monyet-monyet yang terdidik. Mereka memandang bahwa orang dengan kulit lebih putih memiliki kualitas ras yang lebih baik dan orang kulit hitam adalah orang bodoh yang tidak memiliki pikiran mereka sendiri. Para orang Inggris ini dengan seenaknya menduduki area suatu suku dan menerapkan peraturan-peraturan mereka tanpa memandang dan mau peduli bahwa orang-orang ini sudah tinggal di tempat itu dan memiliki aturan-aturan mereka sendiri.
Salah satu hal yang paling menghancurkan hati adalah adegan ketika Wallis melakukan pembabatan hutan untuk perkebunan kopinya. Perkebunan kopi yang pada akhirnya gagal dan bahkan satu batang pohon kopi pun tidak berhasil Wallis tumbuhkan. Mereka mulai dari menebangi pohon-pohon di hutan, bahkan pohon yang dianggap sakral oleh penduduk asli tempat itu. Penabangan pohon besar-besaran yang dilanjutkan dengan membakarnya. Pembakaran yang dilakukan setelah tanaman-tanaman kecil yang biasanya terlindungi pepohonan besar mati karena matahari dan mengering.
Banyak isu lain yang juga diangkat oleh Capella yang menunjukkan luasnya riset yang dilakukannya dan usahanya untuk menunjukkan akurasi dalam tulisannya kali ini. Ia mengangkat masalah penyakit histeria yang kala itu masih dianggap sebagai penyakit khas wanita dan bagaimana usaha penyembuhannya yang unik. Capella juga menyebutkan Wallis membaca salah satu buku dari Freud.
Capella memasukkan banyak pendapatnya melalui pandangan Wallis dalam melihat situasi di sekitarnya. Salah satunya adalah ketika kapitalisme dalam perdagangan mulai dilakukan oleh Pinker. Pinker mulai mengubah caranya menjalankan usaha, dari awalnya yang merupakan perusahaan keluarga diubahnya menjadi perusahaan terbuka dengan menjual sahamnya ke publik dan menjalin kerja sama dengan pesaingnya, Howell. Sesuatu yang tidak begitu saya pahami sebenarnya. Tapi salah satu poin yang menari dari masalah kapitalisme ini adalah pandangan bahwa dihapusnya perbudakan malah lebih menguntungkan bagi para pengusaha kopi. Jika seseorang memiliki budak, berarti orang tersebut harus menanggung seluruh kehidupannya,
“Kalau kau memiliki budak, ada modalmu yang tertanam padanya. Lalu kau harus memberinya makan kalau ia sakit, dan membayar seseorang untuk memukulnya kalau ia malas, dan memberi makan anak-anaknya walau mereka belum cukup umur untuk bermanfaat….” (hlm. 566)

Perbudakan lebih merugikan karena ketika seseorang dipekerjakan pengusaha hanya perlu membayar apa yang dikerjakan oleh para pekerjanya dan sudah. Tidak peduli apakah mereka sakit atau apakah anaknya mendapat cukup makan atau tidak. Jika mereka bekerja, maka mereka akan dibayar, titik. Selain itu Howell juga mengimpor para pekerjanya dari Italia dan para pekerja ini membayar perjalanan mereka sendiri yang menjadi hutang dari pekerja tersebut. Hal ini secara otomatis membuat para pekerja itu akan terus bekerja demi terbayarnya hutang mereka. Howell juga mendorong para pekerjanya untuk berkeluarga dan memiliki banyak anak Untuk apa? Karena anak-anak yang dihidupi kedua orangtuanya ini dengan utang otomatis akan menjadi pekerja di tempat itu juga untuk membayar hutangnya. Suatu cara perekrutan dan reproduksi tenaga kerja yang praktis sekali kan? Jaminan akan adanya stok tenaga kerja terus menerus dan pasti loyal karena terikat hutang. Hai kalian semua, hati-hatilah kalau mau berhutang, dari buku ini bisa kita simpulkan kalau nasibnya lebih parah dari budak. Bebas sih statusnya resminya, tapi ilusi, ia terikat karena hutangnya. Tapi para pekerja perkebuna Howell entah kenapa tampak bahagia.
Kolonialisme, kapitalisme, psikologi, dan satu lagi yang diangkat oleh Capella adalah kesetaraan gender. Capella secara khusus menggambarkan dan melibatkan Emily Pinker, tokoh utama wanitanya, dengan gerakan wanita di Inggris. Mereka menuntut adanya hak suara untuk wanita dan kerterwakilan mereka di parlemen. Usaha yang diikuti dengan pemukulan dan penangkapan para wanita-wanita ini. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan apa yang digembar-gemborkan oleh pandangan umum yang menyatakan bahwa wanita adalah makhluk lemah yang perlu dilindungi.
Capella adalah seorang yang tajam dan mendetail dalam bukunya ini, selain juga erotis. Bagi yang kuliah kajian pascakolonial dan bingung dengan teori-teorinya, membaca buku ini akan memberikan gambaran yang bisa membantu memahami teori dan pandangan barat pada masa itu. Bagaimana pandangan barat akan daerah jajahan mereka, misi apa yang mendasari mereka melakukan ekspansi, eksotisme timur, misi pemberadaban, penyebaran kekristenan, pandangan akan wanita kulit hitam yang lebih liar daripada wanita kulit putih, adanya keinginan untuk menyelamatkan wanita kulit berwarna dari lelakinya yang berwarna, adanya pandangan bahwa orang dengan kulit hitam lebih terbelakang, kapitalisme dan peta kekuasaan dan perdagangan. Komplit wis…

Selamat membaca…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar