Judul asli: The Various Flavours
of Coffee
Terjemahan Indonesia: Rasa Cinta
dalam Kopi
Pengarang: Anthony Capella
Tebal: 680 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Sejarah
Tahun: 2008
Terbitan Indonesia: 2012
Harga: Pinjam di perpus USD
Anthonny Capella
selalu memiliki sudut pandang yang menarik dalam buku-buku tulisannya. Ia
banyak menceritakan sejarah awal abad ke-20 di kawasan Eropa dan manarik
gambaran sejarah besar dalam kehidupan sehari-hari tokoh yang dia ciptakan.
Dalam bukunya kali ini ‘Rasa Cinta dalam Kopi’ ia membawa kita pada bisnis kopi
pada akhir abad 19 sampai awal abad ke-20.
Robert Wallis
adalah seorang penyair yang terlilit hutang dan sedang berada dalam keadaan
ekonomi terjepit yang secara kebetulan bertemu dengan seorang pengusasa kopi,
Samuel Pinker. Dari pertemuan tidak sengaja di Royal Café inilah cerita dalam
buku ini berawal.
Samuel Pinker
sendiri adalah seorang pengusaha kopi yang ambisius, dia berusaha keras untuk
bisa menang melawan para pesaingnya, terutama pesaing terbesarnya, Howell.
Salah satu usahanya untuk menang dalam persaingan tersebut adalah dengan
menciptakan pedoman. Suatu usaha untuk mendeskripsikan rasa-rasa kopi agar
tercipta suatu standar dan lebih mudah untuk mengkomunikasikan rasa kopi
tersebut dalam berbisnis. Diawali dari sebuah pedoman yang membawa Wallis
menjalani petualangan panjang sampai ke Afrika untuk membuka perkebunan kopi di
sana.
Capella dalam
bukunya ini merangsang seluruh indera kita untuk ikut bekerja, ia tidak hanya
mendiskripsikan apa yang terjadi dan apa yang bisa kita lihat dengan mata saja.
Ia mendeskripsikan dengan detail apa yang dicium dan dirasakan dalam setiap
kopi yang dicicipi oleh Wallis dan Emily Pinker. Relasi kerja yang pada
akhirnya berlanjut pada relasi yang romantis bahkan digambarkan Capella
cenderung erotis.
Yang menarik
dalam buku ini adalah kita bisa melihat keadaan di Inggris pada tahun-tahun
tersebut dan menurut saya Capella menggambarkannya dengan cukup mendetail.
Salah satunya kita bisa melihat bagaimana ambisi negara-negara Eropa untuk
memperluaskan daerah kekuasaan dan bagaimana pandangan mereka tentang
orang-orang di luar Eropa. Wallis menggambarkan peta dunia yang diwarnai dengan
berdasarkan daerah kekuasaan dari negara-negara tersebut, dan merah adalah
warna yang melambamngkan kerajaan Inggris sekaligus warna yang kala itu
mengusai peta dunia. Ia juga menggambarkan politik dalam perdagangan kopi kala
itu seperti adanya monopoli kopi dari daerah nusantara.
Pikiran-pikiran
kolonialis lain muncul ketika Wallis akan berangkat ke Eropa. Dia digambarkan
membawa misi penting selain mengembangkan bisnis perkebunan kopi milik Pinker
yaitu menyebarkan peradaban dan menyelamatkan jiwa para penduduk asli, dengan
kata lain menyebarkan Kekristenan ke Afrika. Hal lain yang menggambarkan
superioritas Eropa adalah ketika Wallis tiba di Eropa dan bertemu dengan
orang-orang yang memiliki budak. Dalam tulisan tersebut, budak lebih
digambarkan seperti monyet-monyet yang terdidik. Mereka memandang bahwa orang
dengan kulit lebih putih memiliki kualitas ras yang lebih baik dan orang kulit
hitam adalah orang bodoh yang tidak memiliki pikiran mereka sendiri. Para orang
Inggris ini dengan seenaknya menduduki area suatu suku dan menerapkan
peraturan-peraturan mereka tanpa memandang dan mau peduli bahwa orang-orang ini
sudah tinggal di tempat itu dan memiliki aturan-aturan mereka sendiri.
Salah satu hal
yang paling menghancurkan hati adalah adegan ketika Wallis melakukan pembabatan
hutan untuk perkebunan kopinya. Perkebunan kopi yang pada akhirnya gagal dan
bahkan satu batang pohon kopi pun tidak berhasil Wallis tumbuhkan. Mereka mulai
dari menebangi pohon-pohon di hutan, bahkan pohon yang dianggap sakral oleh
penduduk asli tempat itu. Penabangan pohon besar-besaran yang dilanjutkan dengan
membakarnya. Pembakaran yang dilakukan setelah tanaman-tanaman kecil yang
biasanya terlindungi pepohonan besar mati karena matahari dan mengering.
Banyak isu
lain yang juga diangkat oleh Capella yang menunjukkan luasnya riset yang
dilakukannya dan usahanya untuk menunjukkan akurasi dalam tulisannya kali ini.
Ia mengangkat masalah penyakit histeria yang kala itu masih dianggap sebagai
penyakit khas wanita dan bagaimana usaha penyembuhannya yang unik. Capella juga
menyebutkan Wallis membaca salah satu buku dari Freud.
Capella
memasukkan banyak pendapatnya melalui pandangan Wallis dalam melihat situasi di
sekitarnya. Salah satunya adalah ketika kapitalisme dalam perdagangan mulai
dilakukan oleh Pinker. Pinker mulai mengubah caranya menjalankan usaha, dari
awalnya yang merupakan perusahaan keluarga diubahnya menjadi perusahaan terbuka
dengan menjual sahamnya ke publik dan menjalin kerja sama dengan pesaingnya,
Howell. Sesuatu yang tidak begitu saya pahami sebenarnya. Tapi salah satu poin
yang menari dari masalah kapitalisme ini adalah pandangan bahwa dihapusnya
perbudakan malah lebih menguntungkan bagi para pengusaha kopi. Jika seseorang
memiliki budak, berarti orang tersebut harus menanggung seluruh kehidupannya,
“Kalau kau memiliki budak, ada modalmu yang tertanam padanya. Lalu kau
harus memberinya makan kalau ia sakit, dan membayar seseorang untuk memukulnya
kalau ia malas, dan memberi makan anak-anaknya walau mereka belum cukup umur
untuk bermanfaat….” (hlm. 566)
Perbudakan
lebih merugikan karena ketika seseorang dipekerjakan pengusaha hanya perlu
membayar apa yang dikerjakan oleh para pekerjanya dan sudah. Tidak peduli
apakah mereka sakit atau apakah anaknya mendapat cukup makan atau tidak. Jika
mereka bekerja, maka mereka akan dibayar, titik. Selain itu Howell juga
mengimpor para pekerjanya dari Italia dan para pekerja ini membayar perjalanan
mereka sendiri yang menjadi hutang dari pekerja tersebut. Hal ini secara
otomatis membuat para pekerja itu akan terus bekerja demi terbayarnya hutang
mereka. Howell juga mendorong para pekerjanya untuk berkeluarga dan memiliki
banyak anak Untuk apa? Karena anak-anak yang dihidupi kedua orangtuanya ini
dengan utang otomatis akan menjadi pekerja di tempat itu juga untuk membayar
hutangnya. Suatu cara perekrutan dan reproduksi tenaga kerja yang praktis
sekali kan? Jaminan akan adanya stok tenaga kerja terus menerus dan pasti loyal
karena terikat hutang. Hai kalian semua, hati-hatilah kalau mau berhutang, dari
buku ini bisa kita simpulkan kalau nasibnya lebih parah dari budak. Bebas sih
statusnya resminya, tapi ilusi, ia terikat karena hutangnya. Tapi para pekerja
perkebuna Howell entah kenapa tampak bahagia.
Kolonialisme,
kapitalisme, psikologi, dan satu lagi yang diangkat oleh Capella adalah
kesetaraan gender. Capella secara khusus menggambarkan dan melibatkan Emily
Pinker, tokoh utama wanitanya, dengan gerakan wanita di Inggris. Mereka
menuntut adanya hak suara untuk wanita dan kerterwakilan mereka di parlemen.
Usaha yang diikuti dengan pemukulan dan penangkapan para wanita-wanita ini.
Suatu kelakuan yang bertentangan
dengan apa yang digembar-gemborkan oleh pandangan umum yang menyatakan bahwa
wanita adalah makhluk lemah yang perlu dilindungi.
Capella adalah
seorang yang tajam dan mendetail dalam bukunya ini, selain juga erotis. Bagi
yang kuliah kajian pascakolonial dan bingung dengan teori-teorinya, membaca
buku ini akan memberikan gambaran yang bisa membantu memahami teori dan
pandangan barat pada masa itu. Bagaimana pandangan barat akan daerah jajahan
mereka, misi apa yang mendasari mereka melakukan ekspansi, eksotisme timur,
misi pemberadaban, penyebaran kekristenan, pandangan akan wanita kulit hitam
yang lebih liar daripada wanita kulit putih, adanya keinginan untuk
menyelamatkan wanita kulit berwarna dari lelakinya yang berwarna, adanya
pandangan bahwa orang dengan kulit hitam lebih terbelakang, kapitalisme dan
peta kekuasaan dan perdagangan. Komplit wis…
Selamat
membaca…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar