Judul: The Ethnographic Imagination
Penulis: Paul Willis
Tebal: 153 halaman isi sampai notes dan index
Tahun terbit: 2000
Penerbit: Pollity Press
Lebih dari
tiga bulan ini saya dapat tugas dari kampus untuk membaca sebuah buku. Buku
yang pada akhirnya saya gulati dengan intens satu bulan terkahir ini, tapi
sampai sekarang saya masih juga merasa belum kawin juga dengan apa yang
dibicarakan sama Bapak Paul Willis ini. Sampai pada akhirnya saya mendapatkan
sedikit pencerahan dengan membaca juga bacaan pengiring lainnya, dari tesis,
review, artikel-artikel Willis yang lain dan beberapa jurnal yang
direkomendasikan oleh Bapak St. Sunardi,
Di dalam buku
ini Paul Willis menjelaskan suatu metode baru dalam penelitian. Metode ini,
seperti judulnya menggunakan pendekatan etnografi yang ia sandingkan dengan
kata imajinasi. Mengapa etnografi dan mengapa imajinasi? Saya sendiri masih
tidak terlalu paham. Tapi kalau tidak salah begini. Etnografi adalah suatu
disiplin ilmu dan suatu konsep resmi yang digunakan untuk melihat atau
menjelaskan suatu pengalaman hidup, dan imajinasi di sini digunakan dalam area
tersebut. Mengutip Paul Willis, ia mengistilahkan kalau Etnografi adalah lubang
jarum dan imajinasi adalah benang yang melalui lubang jarum tersebut.
Metode ini
sendiri sebenarnya mengkritik metode etnografi sebelumnya yang dianggapnya
tidak benar-benar bisa menggambarkan apa yang terjadi dan apa yang dialami oleh
suatu kelompok budaya tertentu. Bagi Willis, tidak ada suatu penelitian yang
benar-benar objektif. Peneliti pasti membawa pandangan dan ideologinya sendiri.
Dan melalui ideologi inilah seorang peneliti melihat subjek yang ditelitinya.
Willis sendiri
berangkat dari tradisi kajian budaya yang banyak mengadopsi pandangan Marxisme,
dan strukturalisme. Dari kajian budaya dia berangkat bahwa budaya itu bukan
sesuatu yang adiluhung tetapi sesuatu yang terjadi sehari-hari dalam hidup
kita. Karena itu ia meneliti everday
life. Ia melihat bahwa budaya adalah sesuatu yang sehari-hari terjadi di
sekitar kita. Dalam bukunya Learning to
Labor, Willis meneliti mengapa anak-anak dari kelas pekerja di Inggris di
kemudian hari mendapatkan pekerjaan dari kelas pekerja juga. Kenapa? Kenapa
tidak terjadi perubahan nasib dan anak-anak itu bisa menjadi pekerja kerah
putih?
Pandangan yang
memengaruhi Wallis selanjutnya adalah Marxisme yang membuat dia melihat
struktur masyarakat berdasarkan kelas dan kelas tersebut yang akan menentukan
banyak hal sisanya. Walaupun dalam bagian ini, Saukko dalam bukunya Doing Research in Cultural Studies, An
Introduction to Classical and New Methodological Approach (2003),
menyatakan bahwa dalam menggunakan pandangannya mengeni Marxisme, Willis
dianggap mencocok-cocokan temuannya dengan pandangan tersebut dan mengabaikan
temuan-temuan yang tidak sesuai.
Berikutnya
adalah strukturalisme dan bahasa. Manusia terlahir dalam bahasa yang sudah ada,
karena itu apa yang dapat kita rasakan dan apa yang dapat kita ungkapkan
terbatasi oleh bahasa yang ada. Dari situ Willis menarik pemahaman bahwa segala
yang membentuk manusia adalah hal yang terkonstrusi dari luar.[1]
Dari tiga
pemikiran awal tersebut Willis memulai penelitiannya. Ia mempunyai tiga tahap
penelitian dari yang paling konkret ke yang abstrak.[2]
Yang pertama
dia melihat keseharian dari subjek penelitiannya. Apa yang dia lakukan dan
bagaimana dia mendapatkan sumber daya untuk melakukan apa yang dia pilih. Dalam
penelitian mengenai bacpacker yang
dilakukan oleh Lisis, bagian ini ia melihat basis material dari para backpacker. Pekerjaan apa yang mereka
lakukan untuk menghidupi kegiatan backpacking-an
mereka. Dari situ juga ditentukan kelas mereka dalam masyarakat. Backpacker itu walaupun memilih gaya
hidup yang ‘gembel’, mereka biasanya adalah orang berpendidikan, dan pekerjaan
yang mereka lakukan adalah pekerjaan kantoran, bukan pekerjaan kasar. Mereka
juga melek teknologi. Dari situ lalu ditentukan bahwa mereka berasal dari kelas
menengah.
Penelitian dengan
metode ini data tidak hanya dilihat dari segi bahasa, yaitu dari hasil
wawancara tetapi juga melihat perilaku yang dimunculkan. Untuk itu berada di
lapangan dan terlibat langsung dalam kehidupan partisipan sangat penting. Perilaku
dan bahasa ini sama-sama penting untuk diperhatikan karena ada terjadi
pertentangan antara perkataan dan perbuatan pada subjek penelitian.
Yang kedua
adalah bagaimana kelompok tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
struktur masyarakat dan aturan-aturan yang ada di sekitar mereka. Hal ini
dilihat dari perilaku apa yang dilakukan. Dalam Learning to Labor di sini
dicontohkan Willis tidak hanya melihat dari segi anak sekolahnya saja, tetapi
juga institusi sekolah dan orangtua. Dari penelitian mengenai backpacer dicontohkan hal ini hal ini
terlihat pada bagaimana para partisipan ini menyesuaikan diri dalam hal
transportasi. Walaupun backpacker ini punya idealisme tentang perjalanan yang
mereka lakukan, tetapi mereka tidak bisa membuat sistem transportasi mereka
sendiri. Mereka mau tidak mau harus menggunakan alat transportasi yang sudah
ada. Salah satu usaha untuk bersepakat dengan keadaan tersebut beberapa lebih
suka dengan nebeng. Numpang pada siapa yang mau ngasi tumpangan, selain jika harus
melakukan penerbangan lintas benua.
Lalu yang ketiga adalah melihat
bagaimana kenyataan yang sesungguhnya, melihat bagaimana pengaruh ideologi,
kelas, dan struktur masyarakat apakah yang mempengaruhi kondisi tersebut. Lived Penetration yang terjadi dari
pembentukan makna dan tarikan antara budaya antara struktur sosial dan
identitas personal juga mempengaruhi struktur sosial yang sudah mapan. Di sini
kita melihat bahwa bukan hanya struktur yang memengaruhi individu, tetapi
pembentukan makna dalam masyarakat juga mempengaruhi struktur yang sudah mapan.
Beberapa yang
melakukan review beranggapan bahwa penelitian Willis ini memiliki gaya yang
sama dengan Bordieu dalam melakukan analisis arena. Willis berpendapat bahwa
kelas akan menentukan selera dan perilaku seseorang, sama seperti bordieu yang
melihat fashion yang digunakan orang dalam berbagai situasi. Selain itu juga
ada pengumpulan kapital untuk menguasai arena.
Metode dari
Paul Willis ini salah satu tujuannya adalah untuk mengungkapkan identitas
seseorang, identitas di sini tidak dapat diartikan sebagai sebuah kata benda.
Identitas bukanlah sesuatu yang menetap pada diri seseorang, melainkan
merupakan suatu yang dibentuk secara terus menerus. Willis menyatakan bahwa
budaya selalu mengenai identitas, identitas yang di satu sisi bersifat sosial
dan posisional dan juga bersifat personal dan merupakan suatu usaha penemuan
diri. Sebagai suatu metode dalam penelitian kajian budaya, metode ini
menekankan pada resistensi dan perlawanan terhadap wacana dominan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar