Minggu, 21 September 2014

Review The Ethnographic Imagination


Judul: The Ethnographic Imagination
Penulis: Paul Willis
Tebal: 153 halaman isi sampai notes dan index
Tahun terbit: 2000
Penerbit: Pollity Press
Lebih dari tiga bulan ini saya dapat tugas dari kampus untuk membaca sebuah buku. Buku yang pada akhirnya saya gulati dengan intens satu bulan terkahir ini, tapi sampai sekarang saya masih juga merasa belum kawin juga dengan apa yang dibicarakan sama Bapak Paul Willis ini. Sampai pada akhirnya saya mendapatkan sedikit pencerahan dengan membaca juga bacaan pengiring lainnya, dari tesis, review, artikel-artikel Willis yang lain dan beberapa jurnal yang direkomendasikan oleh Bapak St. Sunardi,
Di dalam buku ini Paul Willis menjelaskan suatu metode baru dalam penelitian. Metode ini, seperti judulnya menggunakan pendekatan etnografi yang ia sandingkan dengan kata imajinasi. Mengapa etnografi dan mengapa imajinasi? Saya sendiri masih tidak terlalu paham. Tapi kalau tidak salah begini. Etnografi adalah suatu disiplin ilmu dan suatu konsep resmi yang digunakan untuk melihat atau menjelaskan suatu pengalaman hidup, dan imajinasi di sini digunakan dalam area tersebut. Mengutip Paul Willis, ia mengistilahkan kalau Etnografi adalah lubang jarum dan imajinasi adalah benang yang melalui lubang jarum tersebut.
Metode ini sendiri sebenarnya mengkritik metode etnografi sebelumnya yang dianggapnya tidak benar-benar bisa menggambarkan apa yang terjadi dan apa yang dialami oleh suatu kelompok budaya tertentu. Bagi Willis, tidak ada suatu penelitian yang benar-benar objektif. Peneliti pasti membawa pandangan dan ideologinya sendiri. Dan melalui ideologi inilah seorang peneliti melihat subjek yang ditelitinya.
Willis sendiri berangkat dari tradisi kajian budaya yang banyak mengadopsi pandangan Marxisme, dan strukturalisme. Dari kajian budaya dia berangkat bahwa budaya itu bukan sesuatu yang adiluhung tetapi sesuatu yang terjadi sehari-hari dalam hidup kita. Karena itu ia meneliti everday life. Ia melihat bahwa budaya adalah sesuatu yang sehari-hari terjadi di sekitar kita. Dalam bukunya Learning to Labor, Willis meneliti mengapa anak-anak dari kelas pekerja di Inggris di kemudian hari mendapatkan pekerjaan dari kelas pekerja juga. Kenapa? Kenapa tidak terjadi perubahan nasib dan anak-anak itu bisa menjadi pekerja kerah putih?
Pandangan yang memengaruhi Wallis selanjutnya adalah Marxisme yang membuat dia melihat struktur masyarakat berdasarkan kelas dan kelas tersebut yang akan menentukan banyak hal sisanya. Walaupun dalam bagian ini, Saukko dalam bukunya Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to Classical and New Methodological Approach (2003), menyatakan bahwa dalam menggunakan pandangannya mengeni Marxisme, Willis dianggap mencocok-cocokan temuannya dengan pandangan tersebut dan mengabaikan temuan-temuan yang tidak sesuai.
Berikutnya adalah strukturalisme dan bahasa. Manusia terlahir dalam bahasa yang sudah ada, karena itu apa yang dapat kita rasakan dan apa yang dapat kita ungkapkan terbatasi oleh bahasa yang ada. Dari situ Willis menarik pemahaman bahwa segala yang membentuk manusia adalah hal yang terkonstrusi dari luar.[1]
Dari tiga pemikiran awal tersebut Willis memulai penelitiannya. Ia mempunyai tiga tahap penelitian dari yang paling konkret ke yang abstrak.[2]
Yang pertama dia melihat keseharian dari subjek penelitiannya. Apa yang dia lakukan dan bagaimana dia mendapatkan sumber daya untuk melakukan apa yang dia pilih. Dalam penelitian mengenai bacpacker yang dilakukan oleh Lisis, bagian ini ia melihat basis material dari para backpacker. Pekerjaan apa yang mereka lakukan untuk menghidupi kegiatan backpacking-an mereka. Dari situ juga ditentukan kelas mereka dalam masyarakat. Backpacker itu walaupun memilih gaya hidup yang ‘gembel’, mereka biasanya adalah orang berpendidikan, dan pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan kantoran, bukan pekerjaan kasar. Mereka juga melek teknologi. Dari situ lalu ditentukan bahwa mereka berasal dari kelas menengah.
Penelitian dengan metode ini data tidak hanya dilihat dari segi bahasa, yaitu dari hasil wawancara tetapi juga melihat perilaku yang dimunculkan. Untuk itu berada di lapangan dan terlibat langsung dalam kehidupan partisipan sangat penting. Perilaku dan bahasa ini sama-sama penting untuk diperhatikan karena ada terjadi pertentangan antara perkataan dan perbuatan pada subjek penelitian.
Yang kedua adalah bagaimana kelompok tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan dan struktur masyarakat dan aturan-aturan yang ada di sekitar mereka. Hal ini dilihat dari perilaku apa yang dilakukan. Dalam Learning to Labor di sini dicontohkan Willis tidak hanya melihat dari segi anak sekolahnya saja, tetapi juga institusi sekolah dan orangtua. Dari penelitian mengenai backpacer dicontohkan hal ini hal ini terlihat pada bagaimana para partisipan ini menyesuaikan diri dalam hal transportasi. Walaupun backpacker ini punya idealisme tentang perjalanan yang mereka lakukan, tetapi mereka tidak bisa membuat sistem transportasi mereka sendiri. Mereka mau tidak mau harus menggunakan alat transportasi yang sudah ada. Salah satu usaha untuk bersepakat dengan keadaan tersebut beberapa lebih suka dengan nebeng. Numpang pada siapa yang mau ngasi tumpangan, selain jika harus melakukan penerbangan lintas benua.
Lalu yang ketiga adalah melihat bagaimana kenyataan yang sesungguhnya, melihat bagaimana pengaruh ideologi, kelas, dan struktur masyarakat apakah yang mempengaruhi kondisi tersebut. Lived Penetration yang terjadi dari pembentukan makna dan tarikan antara budaya antara struktur sosial dan identitas personal juga mempengaruhi struktur sosial yang sudah mapan. Di sini kita melihat bahwa bukan hanya struktur yang memengaruhi individu, tetapi pembentukan makna dalam masyarakat juga mempengaruhi struktur yang sudah mapan.
Beberapa yang melakukan review beranggapan bahwa penelitian Willis ini memiliki gaya yang sama dengan Bordieu dalam melakukan analisis arena. Willis berpendapat bahwa kelas akan menentukan selera dan perilaku seseorang, sama seperti bordieu yang melihat fashion yang digunakan orang dalam berbagai situasi. Selain itu juga ada pengumpulan kapital untuk menguasai arena.
Metode dari Paul Willis ini salah satu tujuannya adalah untuk mengungkapkan identitas seseorang, identitas di sini tidak dapat diartikan sebagai sebuah kata benda. Identitas bukanlah sesuatu yang menetap pada diri seseorang, melainkan merupakan suatu yang dibentuk secara terus menerus. Willis menyatakan bahwa budaya selalu mengenai identitas, identitas yang di satu sisi bersifat sosial dan posisional dan juga bersifat personal dan merupakan suatu usaha penemuan diri. Sebagai suatu metode dalam penelitian kajian budaya, metode ini menekankan pada resistensi dan perlawanan terhadap wacana dominan.




[1] Paul Willis, The Ethnographic Imagination (2000), hlm 17
[2] Andres Vedel Hadberg, The Methodology of Paul Willis. A review of “Learning to Labor: How Working Class Kids get Working Class Jobs”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar