(Mungkin Review)
Judul: After Orchard
Penulis: Margareta Astaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2010
Tebal buku: vi + 194 hlm.; 13,5 x
20 cm
ISBN: 978-979-709-516-1
Harga: - (Pinjam di perpustakaan
USD)
After Orchard
bukanlah buku pertama dari Margareta Astaman yang saya baca. Awalnya saya tahu
penulis ini dari bukunya yang berjudul Excuse Moi, sebuah buku yang
menceritakan tentang pengalamannya menjadi seorang warga keturunan Cina di
Indonesia dan di Singapura. After Orchard sendiri menceritakan tentang
pengalaman Margie selama menjadi mahasiswa NTU di Singapura.
Seperti buku
yang saya baca sebelumnya, buku ini juga mempunyai gaya penulisan yang segar
dan anak muda metropolis banget. Penyebutan diri dengan menggunakan kata ‘gue’
diiringi dengan penggunaan bahasa yang ringan dan gaul membuat buku ini
menyenangkan untuk dibaca. Buku ini sendiri memiliki penulisan dengan gaya
blog. Tulisan-tulisan pendek dengan berbagai topik yang memang menarik bagi si
penulisnya, mungkin karena itu juga ya, edisi ini berjudul margarita’s chat.
Dalam buku ini
Margie bercerita tentang berbagai hal yang terjadi pada dirinya saat kuliah di
NTU, mulai dari pengalaman awalnya masuk kuliah, bagaimana perjuangannya
mengerjakan tugas-tugas, sampai pengalaman dia menyebrang jalan di Singapura.
Ia juga banyak membandingkan keadaan di Singapura dengan keadaan di Indonesia.
Sesuatu yang menarik untuk kita refleksikan menurut saya.
Sebagai salah
satu lulusan terbaik dari jurusan Jurnalisme di salah satu universitas paling
keren di dunia, tidak diragukan lagi bahwa buku ini memberikan tulisan yang
segar dengan sudut pandang dan analisis yang bagus. Namun buku ini jadi membuat
saya bertanya-tanya, beneran nggak si Singapura itu sampai sebegitunya?
Satu hal yang
mendominasi dalam buku ini adalah budaya dan kehidupan di Singapura. Dalam
ceritanya Margie menggambarkan bahwa
kehidupan orang di Singapura itu sangat lurus, teratur, terkesan acuh,
terburu-buru, tidak mau kalah, taat total pada peraturan, bahkan untuk
menekankan ini Margie sering mengistilahkan bahwa mereka menjadi mesin di
tempat itu. Menjadi seorang yang tidak punya ‘kehidupan’. Semuanya serba
otomatis dan teratur dan segala hal dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik.
Hal ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak kelas dua
SD.
Margie dalam ceritanya
yang berjudul ‘Gancheong!’ menceritakan tentang anak-anak di Singapur.
Gancheong sendiri diterjemahkannya sebagai suatu ketergesaan, sesuatu yang
sudah begitu mengakar dalam budaya Singapura. Dalam cerita ini anak-anak itu
berangkat sekolah yang hanya berjarak 15 menit jalan kaki pada pukul 6.30,
padahal sekolahnya masuk pukul 8. Bahkan anak-anak kelas dua SD ini sudah
bertekad untuk masuk ke SMP favorit di sana. Selain itu Margie juga bercerita
bahwa masa depan anak-anak Singapura itu sudah ditentukan sejak kecil, yang
tidak bisa berprestasi dan tidak masuk sekolah yang bagus, maka masa depan
mereka dijamin akan suram.
Cerita-cerita
di buku ini walaupun menyenangkan untuk dibaca tetapi bagi saya begitu
menyeramkan. Saya ini orang yang tidak suka aturan, karena saya menganggap
nggak usah banyak diatur, orang-orang juga akan hidup dengan baik. Saya juga
orang yang suka berteman dan duduk-duduk buat ngobrol ngalor-ngidul dengan teman-teman saya, tapi bagi Margie, Singapura
tidak menyediakan itu. Teman ya hanya mereka-mereka yang bekerja dalam satu
proyek dengannya. Proyek selesai, hubungan selesai. Pertemanan, ngobrol,
basa-basi, adalah salah satu hal yang dianggap menghabiskan waktu dan tidak
produktif, jadi harus dieliminasi dari kehidupan.
Saya ini juga
orang yang senang dengan manusia, jadi bagi saya manusia lebih penting dari
aturan, bahkan dari aturan tuhan. Misalnya pas di tengah misa jadwalnya harus
konsekrasi dan orang di sebelah saya pingsan, maka saya akan lebih memilih
menyelamatkan teman di sebelah saya dari pada melanjutkan konsekrasi. Tapi di
Singapura tidak begitu, Margie bercerita dalam ‘Membasmi Kutu Sesuai Prosedur’
bahwa untuk membasmi kutu di kasur yang menyerang itu tidak bisa dilakukan di
luar jadwal yang ditentukan. Harus pada tahun ajaran, padahal si pemilik kasur
sudah diserang sekian lama dan tetap tidak ada kelonggaran aturan untuk itu.
Dan buat saya itu begitu mengerikan, saya pasti hanya akan marah-marah terus
dan makin lama makin frustasi jika harus seperti itu. Padahal jika kita
marah-marah atau membuat huru-hara akan ada polisi kusus yang akan menangkap.
Tidakss!!
Semakin
menyedihkan menurut saya adalah tingginya angka bunuh diri di kalangan orang
muda di sana dan begitu tidak adanya orang yang berani bermimpi di Singapura.
Hidup sudah ada jalurnya. Jika bisa masuk jalur yang bagus, maka kehidupan akan
terjamin, tetapi jika dari awal kehidupan sudah keluar jalur, maka tamatlah. Di
Singapura tampaknya tidak berlaku prinsip kesempatan kedua dalam masalah
prestasi.
Kalau menilik
diri saya sendiri, saya jadi bersyukur banget deh tinggal di Indonesia, di
Jogja pula. Margie pernah tidak punya uang dan bingung cari hiburan di
Singapura karena semuanya mahal dan hampir sebagian besar kegiatannya adalah
bebelanja dan kegiatan konsumsi. Di Jogja setiap Senin kita bisa lihat Jazz
gratis, banyak tempat nongkrong murah, banyak festival yang asyik dan
terjangkau. Masalah prestasi, saya yang telat bertobat ini juga jadi bisa
bersyukur karena masih boleh kuliah lanjutan, kalau di Singapura salah masuk
SMP saja bisa jadi bikin ga bisa kuliah lagi. Gimana kalo orang yang minat
belajarnya datang terlambat kan? Tamat sebelum berkembang deh.
Saya belum
pernah ke Singapura sampai sekarang, tapi dari apa yang saya baca, saya jadi
penasaran seperti apa di sana, tapi rasanya saya tidak ingin menghabiskan waktu
lama di sana. Saya senang dengan ritme yang lambat ini, saya senang
berinteraksi dengan berbagai macam manusia di sini, saya senang dengan
teman-teman kuliah saya yang masih punya waktu untuk saling membantu satu sama
lain, saya senang dengan dosen-dosen saya yang tidak hanya mememntingkan tugas
akhir saya tapi juga mau berkomunikasi dengan saya sebagai sesama manusia. Saya
senang bahwa aturan di Indonesia tidak sebegitu ketatnya walaupun masih tumpul
ke atas dan tajam ke bawah. Saya senang bahwa bangku-bangku di kampus masih
penuh dengan orang-orang yang mengobrol dan tertawa. Saya bersyukur bahwa ada
banyak kesempatan di Indonesia bahkan bagi orang yang masa mudanya pernah salah
jalur. Saya senang bahwa saya masih bisa hidup sebagai manusia beneran, bukan
mesin. Kebebasan, pertemanan, tawa, perhatian, dan banyak hal lain yang sebelum
saya baca buku ini saya anggap sebagai hal yang wajar dan bisa saya dapatkan di
mana saja, ternyata merupakan keistimewaan yang tidak semua orang bisa
dapatkan.
Aku pernah mampir singapur tapi belum baca after-ochard... Jempol bray....
BalasHapusBtw ada yg ngelike postinganku tapi dari akun privat katanya.... padahal aku ya gak bakal laporin ke polda DIY loh :v
Wakakakakaka... wordpress ku masih kuprivat karena belum bisa yang mengoperasikan. Gimana ya caranya ngeblog pake wordpress??? :P
Hapus