Minggu, 08 Februari 2015

Indonesia dan Dunia Memandang Peristiwa 1965

Akan kuingat selalu
Ade Irma Suryani
Waktu dipeluk dipangku ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring di pangkuan Tuhan
Senang dan bahagia hatinya
Kini ia terlena tertidur terbaring
Nyenyak di pelukan Tuhannya

Lagu Ade Irma Suryani ini adalah salah satu persentuhan awal saya dengan hal-hal yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Lagu yang saya pelajari saat saya duduk di Taman Kanak-Kanak. Lagu yang diajarkan dengan diiringi penjelasan mengenai siapa Ade Irma tersebut dan bagaimana PKI yang membunuh seorang anak kecil yang tidak berdosa seperti kami kala itu. Pembunuhan yang terjadi karena PKI hendak menculik ayah dari gadis kecil tersebut, Jenderal Nasution.
Sekarang sudah 20 tahun berlalu sejak saya mempelajari lagu tersebut dan PKI masih menjadi momok bagi banyak orang Indonesia. Baru bulan Desember 2014 ini ada banyak berita mengenai pelarangan bahkan sampai penyerangan ketika ada pemutaran film Senyap (The Look of Silence). Film yang disutradari oleh Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang seorang adik dari korban pembantaian peristiwa 1965 di Sumatera Utara, Adi Rukun. Ia mendatangi orang-orang yang bertanggung jawab pada pembunuhan Ramli, kakaknya. Pembunuhan yang dalam film tersebut dideskripsikan secara mendetail oleh para pelakunya, pelaku yang mengenal korban, menyebutkan namanya, bahkan merekonstruksi ulang saat-saat terakhir Ramli ketika meregang nyawa dan bagaimana mereka melemparnya ke Sungai Ular bersama ratusan korban lainnya.[1] Film tersebut kemudian dilarang diputar di banyak tempat karena masih adanya ketakutan akan bahaya laten komunis yang dikhawatirkan akan muncul kembali.
Banyak orang yang masih beranggapan bahwa PKI merupakan pihak yang sepenuhnya bersalah akan Gerakan 30 September 1965 tersebut dan pantas untuk dihabisi. Bahkan ada orang-orang yang masih merasa menjadi pahlawan atas tidakannya membunuh para anggota PKI tersebut untuk tindakannya membela negara dan agama. Sebagai orang Indonesia saya pun mengadopsi dan memiliki pandangan yang sama dengan apa yang menjadi pandangan umum selama ini. Saya memiliki pandangan bahwa PKI selama ini adalah pihak yang bersalah dan secara tidak langsung saya membenarkan pembantaian yang terjadi pada PKI dan banyak orang yang dianggap terlibat di dalamnya. Saya selama ini beranggapan bahwa pembantaian yang terjadi pada PKI tersebut terjadi karena adanya perebutan dan perselisihan politik di Indonesia belaka.
Perubahan pandangan kemudian terjadi ketika saya mulai menjadi mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya. Saya mulai banyak mempelajari buku-buku yang memberikan pandangan yang lebih luas mengenai apa yang terjadi pada masa itu. Saya juga disadarkan akan adanya wacana yang lebih besar yang melatarbelakangi peristiwa G30S tersebut. Salah satu buku yang yang membuka pandangan saya mengenai apa yang terjadi pada 1965 tersebut adalah buku 1965 Indonesia dan Dunia, buku ini memberi suatu pandangan baru akan konstelasi yang lebih besar yang terjadi atas Indonesia dan mencoba merekonstruksi padangan lama akan narasi tunggal pemerintah Orde Baru mengenai peristiwa itu.
Keinginan untuk menyusun kembali pandangan mengenai Gerakan 30 September (G30S) inilah yang mendasari disusunnya buku yang berjudul “1965, Indonesia dan Dunia”. Buku yang berisi beberapa artikel dari 12 penulis dengan berbagai latar belakang ini dikumpulkan dan diedit oleh Bernd Schaefer. Schaefer sendiri adalah seorang cendekiawan senior pada proyek Sejarah Perang Dingin Internasional di Woodrow Wilson International Center du Washington D.C., Amerika Serikat.[2] Dalam pengantarnya ia menjelaskan bahwa buku ini diawali dengan diadakannya sebuah konsorsium mengenai peristiwa G30S pada tahun 2011. Konsorsium yang didasari dengan pemikiran untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi kembali pandangan dan pemikiran seputar peristiwa G30S. Memberikan pandangan lain dari narasi besar yang dipropagandakan oleh tentara Indonesia selama ini.

Indonesia dan Dunia, Sudut Pandang Lain Indonesia 1965
Indonesia merupakan suatu negara besar dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat besar. Salah satunya kekayaan yang dimiliki Indonesia adalah 20 miliar barel minyak yang terdapat di dalam bumi Indonesia.[3] Hal ini membuat Indonesia menjadi suatu area yang dianggap sangat berharga bagi Amerika. Kekayaan sumber daya alam, peran Indonesia atau Soekarno yang besar di kawasan Asia dan Afrika, dan posisinya yang strategis membuat banyak negara berlomba-lomba mendapatkan simpati dan keberpihakan Indonsesia dengan berbagai cara. Keberadaan Indonesia ini pula membuat Indonesia menjadi perebutan dua ideologi yang berkuasa pada saat itu, Amerika dan Uni Soviet, kapitalisme dan komunisme.
Indonesia sendiri sebagai negara yang baru merdeka masih mencari identitasnya sendiri. Hal ini tercermin dari konstelasi politik yang ada di Indonesia dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh presiden Soekarno selama tahun-tahun tersebut. Salah satu hal yang menunjukkan kebijakan politik tersebut adalah dengan diselenggarakannya Konfrensi Asia Afrika yang diprakarsai oleh Soekarno dengan mengundang para pemimpin negara-negara dari Asia dan Afrika. Hal ini menjadi pernyataan akan posisi dari negara-negara dunia ketiga tersebut sebagai kekuatan politik baru yang tidak memihak baik Amerika maupun Uni Soviet.[4]
Keseimbangan dan posisi netral yang ditunjukkan dan dipertahankan oleh Soekarno selama bertahun-tahun ini kemudian mulai goyah. Soekarno dianggap semakin dekat dengan komunis. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya terasa semakin merugikan bagi keberadaan Barat di Indonesia. Kebijakan-kebijakan Soekarno kala itu membuatnya semakin tidak populer di mata dunia Barat. Pada tahun 1959, Soekarno mendeklarasikan sistem pemerintahan Indonesia yaitu Demokrasi Terpimpin, perubahan kebijakan yang mengindikasikan pemerintahan yang diktaktor. Pada tahun-tahun tersebut Soekarno juga berencana untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia seperti U.S. Rubber Company dan Goodyear. Selain itu keberpihakan Soekarno kepada Cina dan Uni Soviet juga menjadi kekhawatiran sendiri bagi negara-negara Barat. Penentangan Soekarno akan Barat semakin terlihat ketika ia menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyatakan diri keluar dari PBB.
Di sisi lain, di mata negara-negara komunis pun Soekarno juga tidak populer. Soekarno banyak mendapatkan bantuan keuangan dari pihak Uni Soviet, bantuan yang kala itu digunakan untuk membiayai pembangunan Stadion Senayan yang sangat megah. Stadion dengan kapasitas 100.000 orang dan memiliki pembangkit listrik sendiri saat masih banyak rakyat Indonesia berada dalam konsisi melarat karena kondisi ekonomi yang terus memburuk. Selain itu bantuan tersebut juga digunakan Soekarno untuk membiayai operasi militer ke Irian Barat dan menentang pembentukan Federasi Malaysia. Uni Soviet menganggap bantuan keuangan yang diberikannya pada Indonesia adalah suatu investasi yang buruk, padahal bantuan yang diberikan kepada Indonesia adalah bantuan dengan jumlah terbesar daripada yang diberikan Uni Soviet kepada negara lain.[5] PKI yang semakin mengikuti aliran Maois dari Cina juga membuat Indonesia semakin tidak populer di mata Uni Soviet, walaupun mereka terus menggelontorkan bantuan sebagai kebijakan luar negeri mereka kepada banyak negara dunia ketiga. Uni Soviet berharap bantuan yang terus mereka gelontorkan akan diganti dengan kesetiaan negara-negara tersebut kepada mereka.
Di luar kebijakan-kebijakan yang diambil Soekarno kala itu, konstelasi politik dalam negeri juga tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ada tiga kekuatan besar yang berusaha mencari keseimbangan dan saling memperebutkan kekuasaan di Indonesia. Soekarno sendiri sebagai presiden Republik Indonesia, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia. PKI sendiri kala itu menjadi kekuatan yang suadah begitu masif. Partai ini sudah menjadi partai komunis terbesar di Asia di luar Cina.[6] Dalam pemilu tahun 1955, PKI mendapatkan suara terbesar keempat dan terus membesar. Perolehan suara yang terbilang besar kala itu yaitu 16% mengingat partai pemenang dengan suara terbanyak memperoleh suara sebesar 22%.[7]
Keberadaan PKI yang semakin kuat ini diperkuat oleh pernyataan Aidit yang mengklaim bahwa mereka memiliki dukungan sebesar 3,5 juta anggota di Indonesia walaupun hanya mengumumkan anggota mereka hanya sebesar 2,5 juta orang. Pernyataan yang diungkapkan Aidit kepada Kurt Hanger, anggota politbiro komunis Jerman Timur.[8] Posisi PKI ini memperbesar kekhawatiran Angkatan Darat akan posisi mereka sendiri, mereka khawatir PKI akan menghancurkan mereka. Hal ini juga memperbesar sentimen antikomunis di kalangan Angkatan Darat, Nasionalis, dan anggota partai-partai politik yang berbasiskan agama.[9] Keseimbangan yang semakin berada di ujung tanduk kala itu karena kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun yang mengindikasikan akan adanya pergantian kekuasaan di Indonesia.
Sedangkan keberadaan Angkatan Darat sendiri di Indonesia juga sudah seperti negara di dalam negara.[10] John Roosa menjelaskan lebih lanjut dalam tulisannya “Merencanakan Pembunuhan Massal, Melemparkan Tuduhan Palsu pada Komunis” dengan mendeskripsikan bagaimana pada tahun-tahun tersebut para Perwira Angkatan Darat banyak yang menduduki posisi birokrasi sipil. Selain itu tentara juga memiliki perkebunan, pabrik, perusahaan perdagangan dan mereka mengambil keuntungan dari usaha-usaha tersebut untuk membiayai operasional mereka sendiri. Bahkan pada masa itu tentara memiliki surat kabar mereka sendiri. Keistimewaan yang dilindungi dan didanai oleh Menteri Pertahanan sendiri, Jenderal Nasution.
Ketiga kekuatan besar di dalam perpolitikan Indonesia ini membentuk suatu relasi kekuasaan yang tidak stabil. Soekarno mengandalkan tentara karena kekuatan militer yang mereka miliki, dan mengandalkan PKI karena jumlah massa yang dimiliki oleh partai ini. Pada saat yang sama tentara dan PKI juga mengandalkan Soekarno sebagai penyeimbang dari pihak lawan. Kondisi ini semakin mempertajam konflik antara PKI dan tentara selain juga memperbesar kekuatan keduanya.[11]
Di tengah silang sengkarut perpolitikan Indonesia dan dunia inilah Gerakan 30 September terjadi. Narasi tunggal yang selama ini dibicarakan adalah narasi yang dimunculkan oleh Presiden Soeharto. Suatu Narasi yang disusun oleh Nugroho Notosusanto yang diawali dengan tulisannya yang berjudul 40 Hari Kegagalan G30S buku yang terbit dalam kurun waktu kurang dari dua bulan sejak peristiwa tersebut terjadi.[12] Narasi pemerintah Orde Baru ini menyatakan bahwa PKI melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh keenam Jenderal tersebut dan pembantaian massal sesudahnya hanyalah merupakan reaksi belaka karena rakyat marah akan pembunuhan para jenderal tersebut.[13] Narasi alternatif baru muncul kemudian ketika kekuasaan Soeharto mulai memudar bahkan dilengserkan pada 1998.
Titik berat di mana kita seharusnya memandang mengenai masalah ini sebenarnya bukanlah pada kejadian dini hari pada 1 Oktober tahun 1965 tersebut. Titik pandang kita sekarang seharusnya adalah pada bulan-bulan setelah peristiwa tersebut terjadi. Presiden Soekarno pada suatu pidatonya yang disisarkan oleh media Australia menyatakan bahwa ada 87.000 korban tewas pada periode 3 bulan sejak 1 Oktober sampai Desember 1965.[14] Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan pemberitaan dan penemuan-penemuan selanjutnya. Diperkirakan ada 500.000 sampai 1.000.000 nyawa sipil yang melayang dalam waktu yang begitu singkat, dan hal itu terjadi pada masa damai. Pembunuhan yang dilakukan oleh saudara sebagsanya sendiri. Lalu bagaimana dunia memandang dan menanggapi pembantaian yang terjadi tersebut? Pantaskah kematian 6 jenderal dibayar dengan kematian dan pembantaian yang sebegitu besar? Belum lagi keluarga korban yang harus hidup dengan stigma sebagai anggota PKI sampai saat ini. Stigma yang membuat mereka tidak mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara.

Dunia Memandang Indonesia 1965
Dunia memunculkan reaksi yang menurut saya cukup seragam dalam memandang peristiwa G30S ini. Dalam buku Indonesia dan Dunia yang saya bahas ini mengungkapkan reaksi dari beberapa negara yang kala itu terlibat erat dengan Indonesia. Tiga negara besar yang tidak dapat dilepaskan dari konstelasi perpolitikan Indonesia kala itu adalah Amerika, Uni Soviet, dan Cina. Berikut saya akan mencoba menguraikan satu demi satu bagaimana relasi, reaksi, bahkan mungkin peran negara-negara tersebut bagi Indonesia.
Amerika atau CIA adalah salah satu negara yang disebut dengan sangat keras memiliki kepentingan bahkan dianggap sebagai dalang dari peristiwa terebut. Keterlibatan Indonesia sendiri dalam pemerintahan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama. Amerika sudah sejak tahun 1950-an terlibat dan membiayai pemberontakan PRRI di Sumatera. Hal ini merupakan salah satu usaha Amerika untuk menciptakan suatu rezim antikomunis yang dipimpin oleh militer. Peristiwa yang terjadi pada dini hari 1 Oktober tersebut sebenarnya merupakan suatu peristiwa yang sudah lama dinantikan oleh pemerintahan Amerika dan Inggris. Selama tiga bulan pasca peristiwa tersebut Amerika Serikat dan Inggris melacarkan operasi-operasi rahasia yang bertujuan untuk mendukung pembantaian yang ditujukan pada orang-orang yang dituduh PKI oleh tentara.[15]
Peristiwa yang terjadi di Indonesia dan mengubah wajah Indonesia selamanya ini merupakan persitiwa yang sangat penting bagi situasi Perang Dingin global. Indonesia sendiri merupakan negara yang ditakuti oleh negara-negara Barat. Bahkan muncul diskusi tentang kemungkinan memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil daripada negara Indonesia, dengan 100 juta penduduknya berubah menjadi negara komunis.[16] Amerika memiliki dugaan jika sampai Indonesia berubah haluan menjadi negara komunis maka seluruh Asia Tenggara bahkan Jepang juga akan jatuh ke tangan komunis dan hal itu akan sangat merugikan bagi Amerika dan sekutunya. Ketakutan inilah yang membuat Amerika menyambut dengan gembira dan mendukung tentara Indonesia dalam melakukan pemusnahan komunisme di Indonesia.
Sedangan Uni Soviet tidak banyak bersuara setelah peristiwa tersebut terjadi. Uni Soviet dan sekutunya kala itu, Jerman Timur, memilih untuk tidak banyak bersuara mengenai pembantaian yang terjadi pada orang-orang yang dianggap komunis kala itu. Hal yang sebenarnya cukup aneh mengingat banyaknya bantuan yang sudah Uni Soviet gelontorkan bagi Indonesia untuk mempertahankan ideologi komunis di negara ini. Salah satu alasan yang mengemukan mengenai apatisme yang dimunculkan oleh Uni Soviet adalah karena PKI atau komunisme di Indonesia sudah menyimpang dari ideologi Komunisme yang sesungguhnya yaitu Marxisme-Leninisme. Mereka lebih memilih komunisme di Indonesia lenyap daripada tumbuh tetapi mengikuti aliran yang salah, Maosime.
Cina sendiri sebagai salah satu kiblat dari PKI kala itu tidak terlihat memiliki banyak keterlibatan dalam peristiwa G30S tersebut. Tapi keberadaan Cina membuat banyaknya orang yang mengaitkan apa yang dilakukan PKI dengan Cina. Semua yang berkaitan dengan Cina juga akan dikaitkan dengan komunisme, hal ini juga yang memengaruhi perlakuan dan kebijakan-kebijakan mengenai orang Cina yang ada di Indonesia.
Menarik menurut saya adalah pemberitaan dari media-media asing kala itu yang juga dibahas dalam buku ini, yaitu dari media Prancis dan Australia. Dari media di kedua negara tersebut dapat dilihat adanya usaha penghilangan informasi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. Banyak media yang hanya menyiarkan versi tentara Indonesia mengenai apa yang terjadi. Mereka ikut memberitakan dan menyiarkan propaganda untuk mendukung pemusnahan PKI. Pemberitaan yang muncul mengenai pembantaian yang ada di Indonesia muncul dengan sudut pandang orientalisme. Pembantaian ini digambarkan dilakukan karena adanya perilaku yang tidak beradab dan tidak rasional pada orang Indonesia. Pelaku digambarkan sebagai ekstrimis atau haus darah. Selain itu perubahan haluan kebijakan Indonesia yang jadi memihak barat, membuat pers di negara tersebut jadi mendukung Soeharto. Di media Prancis Soeharto digambarkan sebagai seorang yang sederhana, tidak haus kekuasaan, jujur dan tidak mau menerima suap. Selain itu ada anggapan bahwa kondisi Indonesia akan stabil dan tidak akan memihak lagi ke komunis jika berada di bawah kepemimpinan Soeharto yang lihai.
Dijelaskan kemudian bahwa ditemukan adanya permintaan dari pihak Angkatan Darat kepada kedutaan Australia untuk memberitakan atau tidak memberitakan hal tertentu di media mereka. Seperti tidak boleh memberitakan mengenai perpecahan di tubuh Angkatan Darat dan mulai menghilangnya Otoritas Soekarno. Permintaan yang disetujui oleh pihak otoritas Australia kala itu, bahkan jika media mereka harus tidak jujur untuk sementara waktu.

Indonesia saat ini Melihat Peristiwa 1965
Aneh bagi saya saat ini ketika menyadari ada peristiwa yang memakan korban sebanyak itu tetapi tidak banyak dibicarakan, bahkan ada kesan bahwa pembantaian yang terjadi itu adalah suatu hal yang mulia karena membantai sekelompok orang yang kejam dan tidak beragama. Suatu pandangan yang pernah saya, dan saya yakin banyak orang lain yang menerima pandangan tersebut sebagai suatu kebenaran. Adalah suatu hal yang wajar jika orang-orang yang dianggap pernah terlibat dengan PKI kehilangan hak-haknya sebagai warga negara. Mereka tidak memiliki hak lagi untuk bekerja sebagai pegawai negeri atau mendapatkan pendidikan yang baik. Hal yang dianggap sudah sewajarnya terjadi. Sama seperti orang-orang keturunan Cina yang menganggap sudah sewajarnya mereka mendapatkan perlakuan serupa hanya karena mereka lahir dalam ras yang salah.
Penerimaan dan tidak adanya banyak pertanyaan mengenai peristiwa 1965 terebut jelas tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Pemerintah dan militer pada masa itu mempertahankan legitimasinya dengan melakukan represi yang sedemikian masif dalam seluruh aspek kehidupan. Tampaknya hal ini memang sengaja diciptakan demikian oleh Amerika serikat. Bradley Simpson dalam bukunya Economists with Gun, Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru menjelaskan akan peranan Amerika dalam membentuk rezim otoriter di negara muslim terbesar di dunia ini. Simpson juga mengeksplorasi salah satu dinamika sentral politik internasional selama Perang Dingin: munculnya rezim otoriter di dunia ketiga yang dimaksudkan untuk mendukung program modernisasi yang didukung oleh militer. Dukungan yang pada akhirnya malah melemahkan demokrasi dan memunculkan banyaknya korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di banyak negara dunia ketiga pasca Perang Dingin.
Simpson juga menjelaskan bahwa Amerika mendorong Indonesia—dan banyak negara dunia ketiga yang lain di Asia dan Afrika—untuk membangun perekonomiannya dengan pengawalan dari militer. Modernisasi yang ditegakkan dengan suatu logika kolonial, di mana semua negara disamakan perkembangannya seperti perkembangan ekonomi di negara-negara barat. Penyamarataan yang tidak mempertimbangkan sejarah dan kekhasan dari negara-negara tersebut. Pengaruh dan invasi dari Amerika terhadap dunia ketiga yang masih dapat kita lihat sampai sekarang seperti dalam kasus Irak dan Afghanistan.
Kejadian 30 September 1965, dianggap sebagai suatu kemenangan besar dari Amerika. Suatu negara yang pada awalnya bersifat sosialis, anti Imperialisme di bawah Soekarno, sekarang berubah 180o. Di bawah kemepemimpinan Soeharto, komunisme di Indonesia dihilangkan tanpa jejak. Indonesia juga mulai terbuka kepada investasi dari luar negeri dan menuju modernisasi dengan pengawalan ketat dari militer. Amerika pada awalnya menentang pemerintahan Soekarno yang bersifat otoriter ternyata mendukung pemerintahan Soeharto yang otoriter, bahkan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia untuk melanggengkan pemerintahannya. Hal ini hanya disebabkan pemerintahan Soeharto yang probarat dan mengizinkan banyaknya modal asing masuk ke Indonesia. Amerika memilih menutup mata dengan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara terstruktur dan masif di Indonesia.
Selain dengan represi yang masif dan terstruktur oleh militer, Orde Baru juga melakukan propaganda kepada rakyat Indonesia dengan cara yang lebih terselubung yaitu melalui karya sastra dan film. Sama seperti anak-anak TK yang sudah diajarkan mengenai kebejatan PKI dengan mengajarkan lagu Ade Irma Suryani, pemerintah juga menggnakan produk-produk budaya untuk mempertahankan ketakutan akan komunisme dan melegitimasi pandangan bahwa komunisme adalah sesuatu yang jahat dan tidak bertuhan.
Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 membahas mengenai hal ini secara mendetail. Salah satu alat propaganda Orde Baru yang dibahasnya dalam bukunya ini adalah film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film yang disutradari oleh Arifin C. Noer dan ditulis dalam bentuk novel oleh Arswendo Atmowiloto ini mendasarkan ceritanya pada narasi awal yang disusun oleh Nugroho Notosusanto. Dalam narasi-narasi yang diciptakan oleh Orde Baru tersebut digambarkan dengan begitu bertolak belakang antara pihak PKI sebagai penjahatnya dengan militer Indonesia sebagai pahlawannya. Salah satu contoh yang digambarkan oleh Herlambang adalah dalam film Pengkhianatan G30S/PKI terdapat adegan di mana PKI melakukan penyerangan kepada jemaat yang sedang melakukan shalat subuh di Kanigoro.[17] Dalam adegan tersebut digambarkan PKI sebagai sekelompok orang yang kejam dan tidak bertuhan. Mereka melakukan pembunuhan dan melakukan perusakan pada rumah ibadat dan Al-Quran. Penggambaran lain adalah dalam novel Arswendo dalam menggambarkan kondisi di lubang buaya di mana para anggota PKI digambarkan “saling melepaskan nafsu birahi secara brutal.”[18]
Penggambaran mengenai PKI sebagai sekelompok setan, orang yang tidak bertuhan, biadab, cabul, dan bejat seperti inilah yang terus menerus dibangun oleh rezim Orde Baru. Suatu propaganda yang dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia melalui pembangunan museum-museum dan diorama, film, karya sastra, dan buku pelajaran di sekolah-sekolah. Penggambaran yang juga banyak dijabarkan oleh media-media asing pada periode 1965 ini memberikan suatu legitimasi dan pembenaran bahwa pembunuhan dan pembantaian yang terjadi kepada para pengikut PKI ini adalah suatu hal yang memang sudah sewajarnya terjadi, atau bahkan sudah sebaiknya terjadi. Membunuh anggota PKI kala itu bukanlah suatu kekejaman dan pelanggaran akan hak asasi manusia, membunuh anggota PKI adalah suatu perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan membela negara, bahkan membela Tuhan. Suatu pengorbanan yang sudah selayaknya ada demi masa depan yang “dirasa” lebih baik.
Di sisi lain, media baik itu dalam maupun luar negeri, menggambarkan militer sebagai pihak yang berjasa mengendalikan dan memulihkan keamanan dari kekacauan yang ditimbulkan oleh PKI. Hal ini terutama terlihat dari bagaimana media Prancis kala itu yang menggambarkan sosok Soeharto sebagai seorang yang menyelamatkan Indonesia. Ia digambarkan sebagai seorang yang mempesona, sederhana, dan tidak memunyai ambisi politik sama sekali. Tidak mempan suap, dan juga seorang muslim yang moderat. Hal ini sejalan dengan film-film yang muncul di era Orde Baru seperti Janur Kuning, Serangan Fajar, dan Jakarta 66: Sejarah Perintah 11 Maret yang menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan sejati bagi Indonesia.[19] Dan di balik semua penceritaan dan penggambaran tersebut kita dapat melihat adanya peran negara dan militer dalam menciptakan dan mengarahkan berita-berita tersebut.
Peranan negara dan militer ini juga sangat terlihat dalam pemberitaan di Australia pada tahun-tahun di sekitar 1965. Sebagai negara yang sangat dekat dengan Indonesia, masyarakat Australia sangat sedikit mengetahui peristiwa yang terjadi di Indonesia. Padahal terjadi pembantaian yang begitu masif hanya dalam waktu singkat. Hal ini ternyata tidak terjadi begitu saja, ada berita-berita yang menggambarkan tentang kejadian yang sebenarnya di Indonesia dengan sengaja tidak diterbitkan oleh media atau diterbitkan di halaman-halaman belakang, bahkan tidak ada ulasan lebih lanjut mengenai peristiwa tersebut. Selain itu pemerintah Australia kala itu juga memunculkan aturan yang membatasi pemberitaan mengenai keadaan Indonesia pada media-medianya.[20] Bahkan ada wartawan yang dimutasi ke Saigon dari Jakarta karena memberitakan tentang pembantaian di Indonesia.[21]
Semua pemberitaan media dan berbagai produk budaya tersebut itulah yang membentuk pandangan kita mengenai PKI dan komunisme di Indoesia. Bahkan mungkin tidak hanya pandangan dari masyarakat Indonesia melainkan juga dunia. Suatu persepsi yang menormalisai adanya suatu pembantaian pada ratusan ribu manusia hanya karena mereka dianggap menganut suatu ideologi tertentu. Saya tidak dalam posisi untuk membenarkan atau menyalahkan ideologi komunis sebagai pihak yang paling banyak dipersalahkan selama ini. Tetapi dari apa yang saya temukan dalam buku Bernd Schaefer ternyata semua kekisruhan ini juga tidak terlalu berhubungan dengan masalah ideologi. Negara seperti Uni Soviet, Jerman Timur, Cina, dan Amerika sendiri tidak berjuang dan melakukan peperangan untuk mempertahankan ideologi yang mereka anut. Adanya pandangan bahwa dunia dibagi secara ketat menurut garis ideologis ternyata sangat sedikit menemukan relevansinya di dunia nyata ini. Setelah Indonesia memasuki dunia kapitalisme dan neo-liberalisme sekalipun Uni Soviet dan Jerman Timur tetap menjalin hubungan dengan Indonesia dengan alasan ekonomi. Mereka juga tidak ada usaha untuk membela atau melindungi orang-orang PKI yang memiliki ideologi yang sama dengan mereka. Amerika juga melakukan pembiaran akan pembantaian yang dilakukan dalam periode 1965 tersebut, bahkan mendorong militer untuk memimpin Indonesia, walaupun hal itu berakibat pada banyaknya pelanggaran hak asasi manusia selama rezim militer Orde Baru berkuasa. Semua pembunuhan, pembantaian, dan kisruh perebutan kekuasaan ini hanyalah suatu usaha untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dari kekayaan sumber daya Indonesia.
Penerbitan buku ini merupakan salah satu upaya dari orang-orang yang peduli dan para pejuang yang memperjuangkan keadilan bagi banyak korban yang dibunuh maupun disingkirkan secara tidak adil akibat peristiwa 1965 itu. Usaha yang sama juga dilakukan oleh Yayasan Tribunal Rakyat Internasional atau The Foundation of the International People’s Tribunal (IPT) yang mencoba menyuarakan suara para korban dan meluruskan pemikiran yang salah mengenai PKI yang selama ini dimunculkan oleh Orde Baru.[22] Suatu usaha untuk membongkar “kebenaran” versi Orde Baru yang sudah tertanam selama ini. Usaha untuk menyuarakan orang-orang yang sudah dibunuh secara tidak adil, dibuang, dan dikucilkan oleh masyarakat. Usaha untuk mencari sebuah keadilan!
Banyak hal yang masih tertutup mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia di masa itu. Tetapi bagaimanapun juga, Negara bertanggung jawab atas tewasnya sedemikian banyak orang dan banyak orang lain menderita di pembuangan serta menghadapi stigma yang berat dari masyarakat karena keterkaitan mereka dengan PKI. Keterkaitan yang belum tentu benar. Negara juga harus bertanggung jawab atas 30 tahun rezim militer yang melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban yang bisa terjadi jika negara mau melakukan rekonsiliasi dengan para korban seperti yang dinyatakan oleh Frantz Magnis-Suseno dalam penutup buku 1965, Indonesia and the World, Indonesia dan Dunia.


Daftar Pustaka
Green, M. 1990. Indonesia, Crisis and Transformation 1965-1968. Washington, D. C: The Compass Press

Herlambang, W. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965, Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang: Marjin Kiri

Muchtar, B. (5 Desember 2014). Tribunal Pembantaian “PKI” akan Luncurkan Website di Belanda, http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/05/tribunal-pembantaian-pki-akan-luncurkan-website-di-belanda-708715.html diunduh pada 29 Desember 2014

Lubis, T. M. Luka Kemanusiaan yang Belum Sembuh, http://nationalgeographic.co.id/berita/ 2014/11/luka-kemanusiaan-yang-belum-sembuh, diunduh pada 29 Desember 2014

Schaefer, B. (ed.). 2011. 1965 Indonesia and The World, Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Simpson, B. R. 2008. Economists with Guns, Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Film

The Look of Silence, Joshua Oppenheimer. 2014




[1] Film Senyap, Joshua Oppenheimer
[2] Bernd Schaefer, 2011. 1965 Indonesia and The World, Indonesia dan Dunia pada Daftar Penulis.
[3] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, hlm 60
[4] Herlambang, footnote 40, hlm 72
[5] Schaefer, hlm. 308-309
[6] Herlambang, hlm 60.
[7] Schaefer, hlm. 217
[8] Schaefer, hlm. 330.
[9] Schaefer, hlm. 195
[10] Schaefer, hlm. 215
[11] Schaefer, hlm. 218
[12] Herlambang, hlm 154
[13] Schaefer, hlm. 200-201
[14] Schaefer, hlm. 376
[15] Schaefer, hlm 241
[16] Schaefer, hlm 244
[17] Herlambang, hlm 178
[18] Arswendo dalam Herlambang, hlm 193
[19] Herlambang, hlm 174
[20] Schaefer, hlm 384
[21] Catatan belakang no.7 dalam Schaefer, hlm. 376.
[22] Muchtar, B. (5 Desember 2014). Tribunal Pembantaian “PKI” akan Luncurkan Website di Belanda, http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/05/tribunal-pembantaian-pki-akan-luncurkan-website-di-belanda-708715.html diunduh pada 29 Desember 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar