Selasa, 13 Januari 2015

Review buku: The Silkworm, Ulat Sutera-Robert Galbraith

Judul                     : The Silkworm
Penulis                 : Robert Galbraith
Alih Bahasa         : Siska Yuanita
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran                 : 15 x 23 cm
Tebal                     : 536 halaman
ISBN                      : 978-602-03-0981-1

J.K Rowling memang selalu menarik dalam setiap tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Salah satunya adalah buku terbarunya yang ditulisnya dengan menggunakan pseudoname Robert Galbraith ini. Rowling sendiri tampaknya memang menginginkan posisi sebagai pendatang baru lagi, alih-alih menggunakan namanya sendiri yang sudah mendunia berkat serial Harry Potter. Hal yang dia tegaskan dalam ucapan terima kasih yang ditulisnya.
Galbraith dalam buku keduanya ini menceritakan kembali kisah dari Cormoran Strike. Seorang detektif yang mendapatkan kejayaannya berkat berhasil memecahkan kasus pembunuhan seorang artis terkenal yang bernama Lula Landry dalam buku pertama Galbraith, The Cukoo’s Calling. Strike sendiri adalah seorang veteran perang yang lolos dari peperangan dengan kehilangan sebelah kakinya. Hidup dan petualangannya dalam  buku-buku ini juga tidak terlepas dari permasalahannya dengan kaki palsu yang harus dia kenakan dan harga dirinya sebagai lelaki di hadapan Robin, asistennya.
Pada kasus kali ini Strike dihadapkan pada hilangnya seorang penulis yang sebenarnya tidak cukup terkenal dan malah terkesan sangat menyebalkan dan berperangai buruk, Owen Quine. Kasus kali ini datang dari istri Owen sendiri Leonora Quine, seorang wanita dengan kepolosan dan ketidakpedulian yang lura biasa terhadap lingkungannya. Owen sendiri menghilang setelah ia menyelesaikan draft tulisannya Bombyx Mori. Bombyx Mori sendiri adalah nama ilmiah dari ulat sutra.
Novel ini tampaknya yang menjadi sumber permasalahan dari hilangnya Owen Quine. Novel yang berisi metafora satir dari orang-orang yang pernah terlibat dalam kehidupan penulisan Quine sendiri. Hingga pada akhirnya Strike berhasil menemukan Quine walaupun sudah tidak dalam keadaan hidup. Quine dibunuh dengan cara yang sadis dan yang membuat pembunuhan ini semakin pelik, Quine mati dengan cara yang sama dengan apa yang terjadi pada tokoh dalam akhir Bombyx Mori. Hal ini membuat orang-orang yang pernah membaca atau bersentuhan dengan naskah tersebut menjadi tersangka yang potensial atas pembunuhan Quine.
Rowling-Galbraith memang selalu cerdas dalam setiap tulisan-tulisannya. Ia bermain dengan psikologi para tokoh-tokoh di dalamnya. Bagaimana relasi dan perasaan para tokoh tersebut dengan sang korban, bagaimana Bombyx Mori berakibat pada kehidupan orang-orang yang membacanya, dan orang-orang yang tertulis di dalam novel tersebut, serta bagaimana masa lalu memengaruhi apa yang terjadi di masa sekarang, benar-benar digambarkannya dengan baik. Salah satu tokoh yang menarik bagi saya adalah Orlando Quine, anak dari Owen dan Leonora yang berkebutuhan khusus. Galbraith menggambarkan bagaimana Leonora begitu mengkhawatirkan dan mencemaskan keberadaan anaknya tersebut, dan bagaimana Orlando yang diabaikan oleh banyak orang ini ternyata merupakan salah satu kunci penting dari pemecahan pembunuhan yang terjadi pada Owen.
Hal menarik yang lain dari novel ini adalah tentang bagaimana waktu dijelaskan. Galbraith tidak hanya menceritakan waktu dengan penanda hari, bulan, atau tahun, melainkan ia menceritakan tentang hal-hal penting yang terjadi di sekitar tokoh-tokohnya. Seperti bagaimana ia menceritakan tentang Pangeran William yang mengumumkan pertunangannya dengan Kate Middleton atau tentang pertandingan Arsenal yang ditonton oleh Strike. Suatu penanda waktu yang tidak biasa tetapi pasti begitu melekat dengan lingkungan Rowling sendiri dan pembacanya yang merupakan orang Inggris.
Bagi saya novel ini mengingatkan saya pada cerita-cerita detektif lawas yang juga berasal dari Inggris. Sherlock Holmes dan Hercule Poirot dari Agatha Christie. Bukan cerita detektif dengan pengejaran yang canggih seperti yang banyak muncul dalam fiksi-fiksi Amerika. Ini cerita detektif yang lebih klasik di mana suatu kasus yang biasanya kasus pembunuhan, memunculkan beberapa tersangka dengan berbagai motif dan permasalahannya masing-masing. Para tersangka yang akan berbicara kepada sang detektif, pengumpulan petunjuk yang dicari satu demi satu, pengintaian, dan pengambilan kesimpulan untuk menemukan siapa pembunuh yang sebenarnya. Buku ini rasanya mengobati kerinduan saya akan cerita detektif klasik yang bagus yang sangat jarang saya temukan saat ini. Tampaknya akan ada satu detektif hebat lagi dari Inggris setelah Sherlock Holmes dan Hercule Poirot.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar